Tampilkan postingan dengan label KISAH WALI SONGO. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KISAH WALI SONGO. Tampilkan semua postingan

Tentang Wali Songo dalam Menyebarkan Agama Islam di Tanah Jawa

Wali songo
Wali Songo memiliki arti yaitu Sembilan wali, sembilan wali yang diyakini sebagai para tokoh penyebar agama Islam di pulau jawa pada abad ke 14 Masehi. Dengan hadirnya era Wali Songo ini maka berakhirlah era Hindu Budha yang sebelumnya menguasai Nusantara dan digantikan dengan adanya agama Islam.

Terdapat tokoh-tokoh lain yang berperan menyebarkan agama Islam di Nusantara, namun ke sembilan tokoh tersebut digadang-gadang menjadi tokoh penyebar Islam yang paling kondang dan paling berperan besar di masa itu. Wali Songo tersebut tinggal di wilayah penting yang ada di pulau jawa yaitu di Jawa Timur tepatnya di wilayah Gresik, Surabaya, Lamongan, Tuban, di Jawa Barat tepatnya di wilayah Cirebon, dan di Jawa Tengah tepatnya di wilayah Kudus, Demak, dan Muria.

Berikut daftar 9 wali songo beserta nama aslinya

Hubungan antar Wali Songo

Wali Songo ini tidak hidup secara bersamaan, namun diantara mereka terdapat hubungan erat baik antara orang tua dan anak maupun guru dengan murid, contohnya saja Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) yang merupakan wali tertua dan mempunyai anak bernama Raden Rahmat (Sunan Ampel). Shekh Maulana Ishaq (Sunan Giri) yang merupakan keponakan dari Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) yang secara otomatis merupakan sepupu dari Raden Rahmat (Sunan Ampel). Raden Rahmat (Sunan Ampel) ini mempunyai anak yang bernama Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Qosim (Sunan Drajad). Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) mempunyai sahabat sekaligus sebagai muridnya yang bernama Raden Said (Sunan Kalijaga). Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) merupakan sahabat dari Wali Songo kecuali Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) yang sudah terlebih dahulu meninggal.

Peran Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam

Peran dari Wali Songo ini sangat besar dalam menyebarkan agama Islam. Ini tentu bukan tugas yang mudah, karena ajaran Hindu Budha masih melekat kuat di masyarakat Nusantara. Penyebaran Islam di Nusantara tidak serta merta langsung di terima oleh masyarakat, buktinya saja saat awal penyebaran Islam di Nusantara, Kerajaan Majapahit sedang mengalami perang paregrek. Ini menjadikan Wali Songo yang menyebarkan ajaran Islam tidak digubris oleh masyarakat.
Setiap wali tersebut mempunyai cara yang unik dalam menyebarkan ajaran Islam yang selaras dengan budaya masyarakat Nusantara pada masa itu, sehingga perlahan-lahan ajaran Islam bisa diterima baik oleh masyarakat dan semakin berkembang pesat. Cara yang dilakukan para wali yaitu dengan mendirikan kerajaan Islam, berdakwah, menciptakan karya seni yang sesuai dengan budaya Hindu Buddha yang masih kental di masyarakat, diajarkan cara bercocok tanam yang benar, menjadi tabib di Kerajaan Majapahit, dilatih berdagang sesuai dengan ajaran Islam dan masih banyak lagi (kisah wali sanga di persembahkan oleh dongengterbaru.blogspot.com). Semua ajaran yang diajarkan oleh Wali Songo, dilakukan dengan baik-baik dan tanpa ada paksaan, sehingga masyarakat merasa nyaman dengan ajaran tersebut dan mulai memeluk agama Islam. Ajaran dari para wali tersebut masih bisa dirasakan hingga saat ini dan penerusnya juga semakin banyak.

Kisah Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Kisah sunan gunung jati
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati memiliki nama asli Syarif Hidayatullah. Di usianya yang baru menginjak 20 tahun, beliau sudah ditinggal mati ayahnya. Beliau didaulat menjadi Raja Mesir menggantikan ayahnya, namun Sunan Gunung jati tidak menyetujuinya, beliau lebih memilih berdakwah menyebarkan agama Islam bersama ibunya di tanah jawa. Kedudukan tersebut kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.

Saat masih berada di Mesir, beliau sudah berguru kepada para ulama besar di daratan Timur Tengah, sehingga di umur yang baru menginjak 20 tahun ini beliau sudah banyak menguasai ilmu tentang ajaran Islam. Ini tentu saja menjadi modal berharga dalam kepulangannya ke jawa untuk dapat berdakwah menyebarkan agama Islam.

Sebelum Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dan ibunya Syarifah Muda’im datang ke Jawa Barat pada tahun 1475 Masehi, mereka terlebih dahulu singgah di Gujarat dan Pasai guna untuk memperdalam ilmu agama. Kedatangannya disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana beserta keluarganya. Syarifah Muda’im meminta agar dirinya dan putranya bisa tinggal di Pasambangan atau Gunungjati. Syarif Muda’im dan juga putranya berniat untuk meneruskan perjuangan dari Syekh Datuk Kahfi untuk membuka pesantren di Gunugjati. Dengan dibukanya pesantren tersebut, Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan nama Sunan Gunugjati.

Pangeran Cakrabuana akhirnya menikahkan putrinya yakni Nyi Pakungwati dengan pria bernama Syarif Hidayatullah. Di usia yang sudah lanjut Cakrabuana menyerahkan kekuasaannya kepada Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dengan gelar susuhan yang berarti orang yang dijunjung tinggi.

Di awal pemerintahannya Syarif Hidayatullah mengunjungi kediaman kakeknya yang berada di Pajajaran. Nama kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Kedatangannya bermaksud untuk mengIslamkan Prabu Siliwangi. Namun keinginan Syarif Hidatullah ditolak dan beliau tetap diperbolehkan untuk menyebarkan agama Islam di daerah Pajajaran.

Setelah dari Pajajaran, beliau melanjutkan perjalanannya menuju Serang. Disana sudah banyak ditemukan orang Muslim, pasalnya telah banyak orang Gujarat dan Arab yang telah bermukim. Kedatangan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) ini mendapat sambutan hangat oleh Adipati Banten. Bahkan, Adipati Banten menjodohkan anaknya yang bernama Nyi Kawungten dengan Sunan Gunung Jati. Dari perkawinan tersebut lahirlah anak yang diberi nama Nyi Ratu Winaon dan juga Pangeran Sebakingking. Di dalam menyebarkan agama Islam Syarif Hidayatullah tidak bekerja sendiri, beliau dibantu oleh para wali lainnya. Mereka biasanya melakukan musyawarah di Masjid Demak. Beliau juga dikenal sebagai orang yang ikut serta dalam pembangunan masjid agung tersebut.

Pergaulannya dengan para wali dan juga Sultan Demak, menjadikan Sunan Gunung Jati mendirikan Kesultanan Pakungwati lalu ia memproklamirkan dirinya sebagai raja yang pertama kali mendapat gelar sultan. Dengan adanya kesultanan tersebut maka Cirebon tidak lagi mengirimkan upeti ke Pajajaran.

Kesultanan Pakungwati semakin besar dengan bergabungnya perwira dan prajurit pilihan. Terlebih lagi dengan adanya perluasan pelabuhan Muara Jati, maka perdagangan dengan berbagai Negara menjadi semakin pesat terutama dengan Negara China. Jalinan antara Cirebon dan China semakin erat, dan Sunan Gunung Jati mengembara ke China dan mulai berdakwah dengan ilmu pengobatan yang terkenal di sana. Beliau juga menguasai ilmu pengobatan tradisional. Di dalam dakwahnya beliau mengajarkan ilmu shalat kepada rakyat China dengan memberitahukan bahwa setiap gerakan yang dilakukan ketika shalat merupakan gerakan terapi pijat yang ringan atau biasa disebut dengan akupuntur.

Apalagi jika gerakan yang dilakukan saat shalat menggunakan gerakan yang benar serta lengkap dengan tuma’ninah dan amalan sunahnya. Dengan mendirikan shalat lima waktu secara rutin dan tidak mengonsumsi daging babi karena mengandung cacing pita ini maka pengobatan yang dilakukan dengan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dapat segera sembuh.

Dari ajarannya tersebut, selain beliau mengobati penyakit dari penduduk China beliau juga telah mengajarkan Shalat yang menjadi tiang agama. Suatu hari Kaisar China mendengar kehebatan dari Syarif Hidayatullah dan berniat untuk membuktikan kesaktiannya dengan mengundang ke istana. Kaisar China ingin menguji kepandaian dari Sunan Gunung Jati yaitu dengan membedakan mana wanita yang sedang hamil muda dan mana wanita yang masih perawan. Kaisar menggunakan kedua anaknya sebagai sampel. Anak kaisar yang tidak hamil perutnya diganjal dengan menggunakan bantal dan yang sedang hamil dibiarkan saja. Lalu kaisar bertanya mana wanita yang sedang hamil, seketika Syarif Hidayatullah menunjuk putri Ong Tien yang masih perawan. Semua orang tertawa, namun selang beberapa saat ternyata bantal yang mengganjal perut Ong Tien berubah menjadi perut besar layaknya ibu hamil.

Dengan kejadian tersebut kaisar menjadi murka dan mengusir Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dari China. Karena putri Ong Tien sudah terlanjur jatuh cinta dengan Sunan Gunung Jati, maka kaisar mengijinkan agar putrinya menyusul Sultan Gunung Jati ke jawa dengan dibekali berbagai harta benda dan juga barang berharga dan dikawal oleh tiga pengawal sekaligus. Mereka akhirnya menikah. Di tahun 1568 Masehi beliau wafat dan dimakamkan di Cirebon.

Kisah Sunan Muria (Raden Umar Said)

Kisah sunan muria
Sunan Muria
Sunan Muria mempunyai nama asli Raden Umar Said, beliau merupakan anak kandung dari Sunan Kalijaga (Raden Said) dan Dewi Saroh. Beliau mewarisi bakat ayahnya dalam berdakwah, cara yang dilakukan agar masyarakat memeluk agama Islam pun dengan cara yang halus. Beliau tinggal Gunung Muria.

Di Gunung Muria tersebut beliau melakukan dakwahnya. Letak Gunung Muria ini berada di sebelah utara Kota Kudus. Sasaran dakwah beliau yaitu kalangan nelayan, pelaut, rakyat jelata da juga pedagang. Sunan Muria (Raden Umar Said) merupakan satu-satunya wali yang tetap mempertahankan gamelan dan wayang sebagai media dakwahnya. Beliau juga pencipta tembang Kinanti dan Sinom.

Sunan Muria dan juga istrinya diketahui memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, bagaimana tidak mereka harus naik turun bukit setiap harinya yang jaraknya sekitar 750 meter untuk menyebarkan agama Islam kepada para pelaut, nelayan, pedagang, dan juga rakyat jelata. Bukti nyata kesaktian luar biasa yang dimiliki oleh Raden Umar Said terdapat pada perjalanan cintanya dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono merupakan anak dari Sunan Ngerang. Sunan Ngerang merupakan orang yang disegani dengan ilmunya yang tinggi. Karena kesaktiaannya Sunan Muria (Raden Umar Said) dan Sunan Kudus sampai berguru padanya.

Suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas umur dua puluh tahun yang telah dimiliki oleh Dewi Roroyono. Semua murid dari Sunan Ngerang diundang, seperti Sunan Kudus, Sunan Muria, Adipati Pathak Warak, Kapa dan juga adiknya Gentiri. Selain itu tetangga dan kerabat dekat lainnya ikut diundang. Setelah semua berkumpul tibalah Dewi Roroyono beserta adiknya Dewi Roro Pujiati keluar untuk menghidangkan beberapa makanan dan minuman. Paras cantik yang dimiliki kedua putri tersebut memang sudah tidak bisa diragukan lagi, terlebih kecantikan dari Dewi Roroyono.
Sunan Kudus dan Sunan Muria mampu menahan pandangannya karena sudah memiliki ilmu yang tinggi, sehingga tidak mudah tergoda dengan rayuan iblis. Lain halnya dengan Adipati Pathak Warak yang melihat kecantikan Dewi Roroyono dengan tanpa berkedip, ia sungguh terpesona akan paras ayu Dewi Roroyono. Karena tidak tahan, Adipati langsung menggoda dan memegangi bagian tubuh yang tidak pantas disentuh. Dewi Roroyono pun marah dan menyiramnya dengan minuman.
Kejadian tersebut menjadikan Adipati Pathak Warak kesal dan setelah larut malam Adipati menculik Dewi Roroyono dan di bawanya ke Keling. Ya, ia memang menginap di rumah Sunan Ngerang bersama Sunan Muria karena rumahnya yang jauh. Tentu kesempatan ini merupakan kesempatan emas bagi adipati.

Sunan Ngerang pun mengucapkan ikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya pulang akan dijadikan saudara jika perempuan dan akan dijadikan jodohnya jika laki-laki. Karena Adipati ini dianggap sakti maka tidak ada yang berani menandinginya. Sampai Sunan Muria (Raden Umar Said) bertekad untuk membawa pulang Dewi Roroyono. Di dalam perjalanan menuju Keling, beliau bertemu dengan adik seperguruannya yaitu Gentiri dan Kapa. Kakak adik tersebut kompak ingin membantu membebaskan Dewi Roroyono dan menyuruh Sunan Muria untuk mengajar murid-muridnya karena itu lebih penting. Mereka berjanji akan mengawinkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria.

Dewi Roroyono pun berhasil dibebaskan namun kabar ini belum terdengar di telinga Sunan Muria. Saat Sunan Muria pergi ke kediaman Sunan Ngerang beliau bertemu dengan adipati mereka terlibat perkelahian yang dimenangkan oleh Sunan Muria.

Sesampainya di kediaman Sunan Ngerang, beliau disambut dengan gembira dan akhirnya mereka pun menikah. Setelah menikah, Kapa dan Gentiri menyesal mengapa mereka dengan mudah menawarkan bantuan kepada Sunan Muria (Raden Umar Said) untuk membebaskan Dewi Roroyono dan sekarang beliau telah menikahinya dengan tanpa perjuangan. Sifat licik dari kakak beradik itu pun muncul, mereka juga terpesona akan kecantikan yang dimiliki Dewi Roroyono. Mereka berencana untuk menculik Dewi Roroyono dan menikahinya secara bergantian.

Awalnya Gentiri yang memulai cara licik tersebut. Saat ia akan melancarkan niatnya ternyata dipergoki oleh murid Sunan Muria dan terjadilah pertempuran dahsyat, apalagi Sunan Muria yang mengetahui hal tersebut dan langsung menyerang Gentiri hingga tewas.

Kematian yang dialami oleh Gentiri tidak menciutkan nyali Kapa untuk menikahi Dewi Roroyono, ia pun mulai melancarkan aksinya dengan menculik wanita idamannya ke Pulau Seprapat. Kala itu Sunan Muria sedang pergi ke Demak Bintoro. Setelah kunjungannya ke Demak Bintoro beliau berniat untuk mengunjungi sahabatnya Wiku Lodhang yang berada di Pulau Seprapat. Dia merupakan orang yang telah menolong beliau untuk menyelamatkan istrinya.

Ternyata Kapa juga membawa Dewi Roroyono ke rumah Wiku Lodhang dan langsung memarahinya. Tak berapa lama Sunan Muria datang dan melihat istrinya tergeletak lemas, Kapa langsung melancarkan serangan ke Sunan Muria (Raden Umar Said) hingga akhirnya dia meninggal dengan serangan yang dilakukannya sendiri. Ya, Sunan Muria dianggap sakti dan bisa mengembalikan serangan dari lawan.

Dengan begitu kehidupan suami istri antara Sunan Muria (Raden Umar Said) dan Dewi Roroyono berakhir bahagia.

Kisah Sunan Kalijaga (Raden Said)

Sunan Kalijaga mempunyai nama asli Raden Said. Beliau merupakan putra dari Adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilantikta atau biasa disebut sebagai Raden Sahur. Sejak kecil Raden Said telah dididik mengenai agama Islam oleh guru agama di Kadipaten Tuban. Beliau sangat tidak menyukai para penguasa yang ada di Tuban. Mereka berbuat semena-mena pada rakyat kecil ini yang membuat Raden Said marah.
Kisah sunan kalijaga
Sunan Kalijaga - Raden Said

Kemarahan beliau semakin menjadi-jadi tatkala melihat pejabat Tuban yang menarik pajak kepada rakyat miskin. Rakyat di Tuban telah mengalami penderitaan akibat dari kemarau yang panjang ditambah lagi harus membayar pajak, tentu saja rakyat akan semakin menderita. Telebih pajak yang ditarik kadang tidak sesuai dengan kemampuan mereka. Maka dari itu rakyat sungguh sengsara.
Sunan Kalijaga (Raden Said) terkenal dengan mudah bergaulnya, walaupun beliau anak dari Adipati Tuban namun beliau lebih suka berhgaul dengan rakyat yang biasa. Beliau berteman dengan masyarakat dari berbagai kalangan mulai dari yang miskin hingga yang kaya. Dengan mudah bergaulnya tersebut Raden Said menjadi tahu keadaan rakyat Tuban yang sebenarnya.

Raden Said telah menyampaikan niatnya untuk mengurangi penderitaan rakyat Tuban kepada ayahnya. Namun apa daya ayahnya tidak bisa berbuat banyak. Raden said pun bisa memaklumi keadaan tersebut, karena Adipati berada di bawah pimpinan Kerajaan Majapahit yang mengharuskan rakyat membayar pajak. Dengan keadaan tersebut Raden Said berinisiatif untuk keluar rumah di malam hari, dan meninggalkan membaca ayat suci Al-Qur’an yang telah dilakukannya di malam-malam sebelumnya.

Beliau melakukan pencurian hasil bumi yang berada di gudang kadipaten. Pajak bumi tersebut merupakan pajak yang diberikan oleh rakyat. Hasil curian tersebut lalu dibagikan kepada rakyat tidak mampu secara tersembunyi. Lama kelamaan tindakan tersebut diketahui oleh ayahnya sendiri, lalu beliau di hokum cambuk sebanyak 200 kali di tangannya dan di kurung selama beberapa hari di kamarnya.

Setelah hukuman selesai Sunan Kalijaga (Raden Said) benar-benar keluar dari kadipaten dan tidak kembali lagi, hal ini membuat cemas keluarganya. Beliau masih melakukan pencurian dengan menggunakan pakaian serba hitam dan mengenakan topeng. Sasaran yang beliau curi adalah kaum bangsawan yang pelit dan tidak mau bersedekah kepada rakyat kecil. Hasil curiannya tentu sasa dibagikan kepada rakyat miskin. Suatu hari beliau dijebak oleh orang yang membencinya dengan menyamar berpakaian seperti dirinya. Beliau di fitnah telah memperkosa seorang anak.

Dari kejadian tersebut ayahnya menjadi marah dan mengusirnya dari Kadipaten Tuban. Beliau tidak boleh pulang sebelum dapat menggetarkan dinding istana dengan suara merdu lantunan ayat Al-Qur’an yang selama ini sering dibaca di malam hari. Dewi Rasawulan tidak percaya dengan fitnah tersebut ia merasa iba dengan kakaknya tersebut. Dewi Rasawulan pun berinisiatif untuk pergi mencari kakaknya dan membujuknya kembali pulang ke kadipaten.

Sunan Kalijaga (Raden Said) melakukan perjalanan yang tidak pasti arah dan tujuannya hingga sampailah di hutan jatiwangi. Disana beliau menjadi pencuri yang budiman, yaitu dengan mencuri harta orang kaya yang pelit dan dibagikannya kepada masyarakat yang tidak mampu. Suatu hari beliau bertemu dengan seorang kakek tua yang mengenakan jubah putih sambil membawa tongkat yang gagangnya berkilauan. Orang tersebutlah yang berhasil menyadarkan Sunan Kalijaga (Raden Said) bahwa cara yang dilakukannya untuk menolong orang tidak mampu merupakan cara yang salah. Orang tersebut mengumpamakan perilaku Raden Said bagaikan mencuci baju dengan air kencing.
Dari situlah Raden Said ingin menjadi murid dari kakek tua tersebut. Namun ada syarat yang harus dipenuhi yaitu dengan menunggui tongkat yang telah ditancapkan di tanah sampai kakek tua datang. Ujian tersebut mampu dijalani oleh Raden said selama tiga tahun beliau bersemedi di tempat tersebut. Setelah ujian berhasil raden Said dibersihkan tubuhnya dan diberi pakaian yang bersih, kemudian beliau di bawa ke Tuban. Mengapa demikian? Karena kakek tua berjubah putih itu adalah Sunan Bonang.

Dengan Sunan Bonang, beliau mulai menimba ilmu mengenai pelajaran agama. Gelar Sunan Kalijaga didapatkannya karena beliau pernah menunggui sungai selama bertahun-tahun. Dalam bahasa jawa kali berarti sungai dan jaga berarti menjaga.

Setelah bertahun-tahun ibu Raden Said mengetahui kabar bahwa anaknya tidak bersalah dan ia merasa menyesal telah mengusir anaknya. Untuk mengobati rasa rindu dari ibunya, Sunan Kalijaga (Raden Said) mengerahkan ilmu tingginya untuk melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dari kejauhan dan nantinya suara tersebut di kirim ke Kadipaten Tuban. Suara merdu dari Raden Said mampu menggetarkan dinding istana dan siapa saja yang mendengarnya.

Sunan Kalijaga (Raden Said) memutuskan untuk mengembara sembari berdakwah menyebarkan agama Islam dari Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Kearifan dan kebijaksanaan dalam berdakwah yang dimiliki Raden Said mampu menjadikannya sebagai Guru Suci se-tanah jawa. Saat usia senjanya beliau memilih Kadilangu, Demak sebagai tempat peristirahatan terakhirnya.

Kisah Sunan Giri (Syekh Maulana Ishaq)

Sunan Giri mempunyai nama lain yaitu Syekh Maulana Ishaq. Beliau merupakan wali yang berasal dari Gujarat yang menetap di Pasai. Pasai ini sekarang lebih dikenal dengan nama Aceh. Syekh Maulana Ishaq ingin menyebarkan agama Islam didaerah Jawa Timur. Beliau pun datang menemui Sunan Ampel (Raden Rahmat) untuk meminta pertimbangan. Sunan Ampel masih sepupu dari Syekh Maulana Ishaq. Menurut Sunan Ampel, beliau disarankan untuk menyebarkan agama Islam di daerah Blambangan, posisinya di sebelah selatan dari Banyuwangi.
Kisah Sunan Giri (Syekh Maulana Ishaq)
Sunan Giri Syekh Maulana Ishaq
Pada saat Sunan Giri (Syekh Maulanan Ishaq) sampai di Blambangan, ternyata disana sedang ada wabah penyakit dan putri raja Blambangan yang bernama Dewi Sekardadu pun ikut terkena wabah penyakit tersebut. Wabah penyakit ini sangat mengerikan, karena banyak orang yang meninggal. Seluruh penduduk di Blambangan merasa prihatin dan berduka cita atas kejadian tersebut. Akibatnya keseharian yang biasa dilakukan oleh masyarakat menjadi terhenti.

Banyak tabib yang namanya sudah terkenal mencoba menyembuhkan penyakit tersebut, namun tidak berhasil juga. Dengan inisiatif dari permaisuri , maka Prabu Menak Sembuyu setuju untuk mengadakan sebuah sayembara. Sayembara itu berbunyi “barang siapa yang dapat menyembuhkan putrinya yaitu Dewi Sekardadau maka akan dijadikan menantunya, dan barang siapa yang dapat menghilangkan wabah penyakit di Blambangan, maka akan dijadikan sebagai Bupati atau Raja Muda. sayembara tersebut semakin berkembang luas beritanya. Seiring dengan berkembangnya waktu mulai dari hari, minggu bahkan sampai berbulan-bulan tak seorangpun yang sanggup untuk mengikuti sayembara tersebut.

Keadaan tersebut tentu saja membuat permaisuri merasa sedih, untuk menghiburnya maka Prabu Menak Sembuyu memerintahkan Patih Bajul Sengara untuk berkelana mencari seorang pertapa yang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit tersebut.

Patih Bajul Sengasara mulai melakukan perjalanan yang didampingi oleh beberapa prajurit yang terpilih. Menurut informasi, biasanya pertapa tinggal di lereng-lereng gunung maupun dipuncaknya, segeralah Patih Bajul Sengasara dan rombongan menuju ke sana. Di dalam perjalannanya Patih Bajul Sengasara bertemu dengan Resi Kandabaya. Resi ini mengetahui keberadaan orang sakti yang berasal dari negeri seberang. Orang yang dimaksud adalah Sunan Giri (Syekh Maulanan Ishaq) yang sedang menjalankan dakwah secara sembunyi-sembunyi.

Akhirnya Patih Bajul Sengasara dapat menemui Syekh Maulana Ishaq di dalam sebuah goa. Negosiasi pun terjadi, Sunan Giri (Syekh Maulanan Ishaq) mau untuk menyembuhkan rakyat Blambangan namun dengan syarat yaitu raja dan rakyat Blambangan mau untuk memeluk agama Islam. Kesepakatan pun terjadi dan Syekh Maulana Ishaq segera pergi ke Blambangan. Syekh Maulana Ishaq ini memang ahli di bidang ilmu ketabiban. Dengan ilmu yang dimilikinya dan atas seizin Allah S.W.T, beliau berhasil menyembuhkan Dewi Sekardadu dan berhasil pula menghilangkan wabah penyakit di Blambangan. Keluarga raja pun tidak melupakan janjinya untuk segera memeluk agama Islam. Karena berhasil memenangkan sayembara, beliau kemudian dikawinkan dengan Dewi Sekardadu dan diangkat sebagai Adipati yang menguasai sebagian wilayah dari Blambangan.

Rakyat yang memeluk agama Islam semakin hari semakin bertambah, ini yang menjadi penyebab Patih Bajul Sengasara iri pada Sunan Giri (Syekh Maulanan Ishaq) dan berusaha untuk menghasut Prabu Menak Sembayu. Selain itu, Patih bajul Sengasara diam-diam telah melakukan teror kepada pengikut dari Syekh Maulana Ishaq. Dia melakukan penculikan terhadap rakyat yang sudah memeluk agama Islam dan dipaksanya untuk kembali keagamaan yang lama. Kejadian ini pun sampai di telinga Syekh Maulana Ishaq beliau memutuskan untuk meninggalkan Blambanga karena tidak mau terjadi pertumbahan darah nantinya. Beliau pun memutuskan untuk berkelana ke Pasai yang sekarang di sebut sebagai Aceh dan meninggalkan istri tercintanya yang sedang mengandung 7 bulan.
Pada tengah malam Sunan Giri (Syekh Maulanan Ishaq) mulai melakukan perjalanannya seorang diri dan meninggalkan istri dan juga Blambangan. Keesokan harinya Patih Bajul Sengasara beserta rombongan berhasil masuk wilayah kadipaten dan mengacak-acaknya, namun ia tak berhasil menemukan Syekh Maulana Ishaq, karena beliau telah pergi. Dua bulan kemudian Dewi Sekardadu melahirkan seorang putra yang elok rupanya dan bercahaya. Setelah usia bayi menginjak 40 hari, Patih Bajul Sengasara berusaha untuk menghasut Prabu Menak Sembayu agar membunuh cucunya tersebut. Karena tidak tega, maka diam-diam sang prabu mengahanyutkan cucunya yang di masukan peti ke lautan.

Akhirnya bayi tersebut di temukan oleh Nyai Ageng Pinatih dan diasuhnya serta diberi nama Joko Samodra, setelah remaja Joko Samodra dimasukkan ke pesantren yang dipimpin oleh Sunan Ampel di Surabaya. Tak berapa lama Sunan Ampel mengetahui jika Joko Samudro merupakan anak dari Sunan Giri (Syekh Maulanan Ishaq). Sunan Ampel lalu mengganti nama Joko Samodra menjadi Raden Paku. Saat usia 16 tahun beliau Sunan Ampel memerintahkan Raden Paku untuk berguru dan menambah pengalaman ke Pasai serta bertujuan untuk menyatukan Raden Paku dengan Sunan Giri (Syekh Maulanan Ishaq).

Sunan Giri dikenal sebagai pencipta lagu permainan anak dan juga pencipta lagu Gending Asmaradhana dan Pucung. Lagu tersebut syarat akan nuansa Islaminya.

Kisah Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)

Sunan Kudus mempunyai nama kecil bernama Ja’far Shadiq yang merupakan anak dari Sunan Ngudung dari Jipan Panolan. Ja’far Shadiq merupakan senopati Demak yang sebelumnya di jabat oleh ayahnya sendiri. Beliau belajar mengenai ajaran agama Islam dari ayahnya sendiri dan juga dengan beberapa ulama terkenal yaitu Ki Ageng Ngerang, Sunan Ampel, dan Kyai Telingsing. Kyai Telingsing ini merupakan ulama yang berasal dari China. Kyai Telingsing ini mahir dalam membuat ukiran, tak jarang banyak yang berguru padanya tak terkecuali Sunan Kudus (Ja’far Shadiq). Dari kyai China tersebut Ja’far Shadiq belajar mengenai arti dari ketekunan dan juga kedisiplinan dalam mencapai cita-cita yang ingin diraih. Ini tentu menjadi modal yang besar dalam dakwah Ja’far Shadiq dimana beliau harus menghadapi rakyat yang masih beragama Hindu dan Buddha.
Kisah Sunan Kudus
Sunan Kudus

Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) dalam dakwahnya termasuk pendukung dari gagasan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, dimana strategi dakwahnya adalah sebagai berikut

  1. Tidak menggunakan jalur kekerasan, artinya biarlah masyarakat hidup dengan kepercayaan yang dulu dan sulit dirubah.
  2. Adat istiadat lama yang mudah diubah maka akan segera diubah sesuai dengan ajaran Islam.
  3. Mengikuti setiap adat istiadat yang telah berkembang di masyarakat serta menyisipkan ajaran agama Islam di dalamnya.
  4. Menghindari konfrontasi secara langsung dalam menyebarkan agama Islam.

Tantangan yang dihadapi oleh Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) dalam menyebarkan agama Islam adalah beliau harus berhadapan dengan rakyat yang kebanyakan beragama Hindu dan Buddha serta mereka masih memegang teguh kepercayaan yang lama. Suatu hari Ja’far Shadiq membeli seekor sapi dan ditambatkan di depan rumah. Secara otomatis penduduk setempat penasaran mau diapakan sapi tersebut. Di dalam agama Hindu sapi merupakan hewan yang suci dan dilarang untuk disembelih. Setelah rakyat berkumpul di halaman rumah Ja’far Shadiq, tibalah beliau untuk bicara bahwa dirinya melarang kepada masyarakat untuk menyakiti apalagi sampai menyembelih hewan sapi, sebab saat beliau masih kecil pernah ditolong oleh sapi yaitu dengan disusui saat beliau hampir mati kehausan.
Dari cerita tersebut, rakyat hindu langsung takjub dan menyangka jika Ja’far Shadiq merupakan titisan dari Dewa Wisnu. Mereka pun semakin antusias dengan ceramah yang akan disampaikan oleh Ja’far Shadiq. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) menambahkan bahwa larangan menyembelih sapi terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan perkataanya tersebut rakyat semakin tertarik dan ingin tahu lebih lengkap dari keterangan yang diberikan Ja’far Shadiq.

Simpati dari masyarakat telah didapatkan dan Ja’far Shadiq pun semakin mudah untuk mengIslamkan mereka. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) mendirikan sebuah masjid yang bentuknya mirip dengan candi-candi Hindu. Dengan begitu rakyat tidak merasa canggung jika memasuki masjid tersebut dan bersedia untuk mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh Ja’far Shadiq.
Untuk menarik simpati dari masyarakat yang beragama buddha, Ja’far Shadiq
mempunyai trik yang menarik yaitu dengan membuat tempat berwudhu yang setiap pancurannya terdapat arca kepala Kerbau Gumarang di atasnya. Strategi ini pun berhasil membuat masyarakat beragama Buddha penasaran dan mulai memasuki masjid untuk mendengarkan keterangan dari Ja’far Shadiq.

Dalam menyebarkan agama Islam Ja’far Shadiq ini pernah mengalami kegagalan dalam mengumpulkan masyarakat yang masih memegang adat istiadat dan kepercayaan lama. Lalu Ja’far Shadiq mengamati masyarakat jawa yang kental dengan tradisinya yaitu adanya tradisi mitoni atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai upacara tujuh bulanan. Ja’far Shadiq ingin merubah kebiasaan tersebut menjadi sesuai dengan agama Islam. Jika biasanya upacara tersebut berupa permintaan kepada dewa agar diberikan anak yang tampan seperti Arjuna atau yang cantik seperti Dewi Ratih, maka kebiasaan tersebut diubah menjadi permintaan yang langsung kepada Allah S.W.T agar diberikan anak yang tampan seperti Nabi Yusuf atau anak perempuan yang cantik seperti Siti Maryam . dengan begitu ayah dan ibu harus sering-sering membaca Surat Yusuf dan Surat Mariam yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Untuk memperkenalkan cara berwudhu, maka Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) mengundang masyarakat untuk menghadiri acara mitoni istrinya yang diselenggarakan di masjid. Karena syarat yang diberikan untuk masuk ke masjid dengan membasuh tangan dan kaki maka masyarakat keberatan dan banyak yang tidak hadir. Kemudian dengan memberikan sedikit pengetahuan tentang ajaran tauhid, mereka perlahan mau membasuh tangan dan kaki terlebih dahulu sebelum masuk ke masjid. Meskipun cara tersebut sempat gagal namun, Ja’far Shadiq tetap berusaha keras agar caranya berhasil. Di dalam masjid beliau menyampaikan dakwahnya secara cerdik, sehingga masyarakat semakin dibuat penasaran dan ingin mendengarkan ceramahnya lagi. Lama-kelamaan kebiasaan ini semakin berlanjut dan masyarakat sekitar menjadi mengenal berwudhu. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) diperkirakan wafat pada tahun 1550 Masehi.

Itulah keteladanan dari kisah Ja’far Shadiq yang tak pernah gentar untuk menyebarkan agama Islam walaupun pernah gagal namun beliau tetap gigih dalam memperjuangkan agama Islam.

Kisah Sunan Drajat (Raden Qosim)

Kisah sunan drajat
Sunan Drajat
Sunan Drajat memiliki nama kecil bernama Raden Qosim, lahir sekitar tahun 1470 Masehi. Beliau merupakan adik kandung dari Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim) dan merupakan anak dari Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan juga Dewi Condrowati. Karena ayahnya seorang wali dan kakaknya juga seorang wali, maka pengetahuan tentang Islam yang dimiliki oleh Sunan Drajat ini sudah tidak bisa diragukan lagi. Beliau dianggap sudah mumpuni untuk ikut serta menyebarkan agama Islam. Beliau juga mendapat gelar Raden Syaifuddin.

Sunan Ampel (Raden Rahmat) memerintahkan beliau untuk berdakwah ke Gresik bagian barat. Daerah tersebut merupakan daerah yang kosong dari para ulama-ulama besar, letaknya diantara Tuban dan juga Gresik. Sunan Drajat (Raden Qosim) melakukan perjalanan melalui jalur laut. Sesudah singgah di rumah Sunan Giri (Shekh Maulana Ishak) beliau melanjutkan perjalanan dengan menggunakan perahu. Tiba-tiba di tengah perjalanan perahu beliau dihantam oleh ombak besar, sehingga menabrak karang dan hancurlah perahu yang ditunggangi oleh Sunan Drajat (Raden Qosim). Peristiwa tersebut hampir saja membuat Raden Qosim kehilangan nyawanya, namun Allah S.W.T berkehendak lain. Allah S.W.T mengirimkan ikan talang kepadanya agar menyelamatkan Raden Qosim dengan menaiki punggung ikan tersebut Raden Qosim berhasil menuju tepi pantai. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala-galanya.

Sunan Drajat (Raden Qosim) merasa sangat beruntung dan bersyukur kepada Allah S.W.T atas pertolongan yang diberikan kepadanya, sehingga dapat terlepas dari peristiwa mengerikan itu. Beliau juga tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada ikan talang tersebut atas bantuannya, sehingga Raden Qosim bisa selamat. Dengan kejadian itu Raden Qosim menitipkan pesan kepada anak keturunannya agar jangan sampai kalian memakan daging dari ikan talang walaupun itu hanya sedikit. Jika pantangan tersebut dilanggar, maka akan terjadi bencana berupa ditimpa penyakit yang tidak ada lagi obatnya.

Raden Qosim dibawa olehikan talang menuju tepi pantai dari Desa Jelag yang sekarang disebut sebagai Desa Banjarwati, Kecamatan Paciran. Sesampainya di desa tersebut beliau disambut dengan antusias oleh warga setempat, terlebih lagi masyarakat telah mengetahui bahwa Raden Qosim merupakan anak dari Sunan Ampel (Raden Rahmat) yang merupakan wali besar yang pernah memimpin agama Islam se-tanah jawa. Jika dihitung-hitung Sunan Ampel (Raden Rahmat) ini masih merupakan kerabat keratin dari Kerajaan Majapahit, sehingga masyarakat Desa Jelag menyambut Raden Qosim ini dengan sangat baik.

Di Desa Jelag ini Raden Qosim mulai mendirikan pesantren yang digunakan untuk mendidik para mubaligh. Beliau mengajarkan agama Islam kepada masyarakat dengan cara unik, sehingga banyak yang tertarik untuk memeluk agama Islam dan banyak juga yang ingin berguru kepadanya. Di Desa Jelag ini beliau hanya bertahan 1 tahun, karena mendapat ilham untuk menuju ke arah selatan yang berjarak sekitar 1 kilometer lalu beliau mulai mendirikan langgar sebagai tempat beribadah.
Setelah menetap selama 3 bulan di empat tersebut Sunan Drajat (Raden Qosim) mendapat petunjuk untuk mendirikan tempat dakwah yang letaknya strategis yaitu di ketinggian, lalu diberi nama Dalem Duwur. Di Dalem Duwur inilah tempat dibangunnya Museum Sunan Drajat.

Dalam menyebarkan agama Islam, Raden Qosim menganut aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri (Sekh Maulana Ishak). Aliran putih ini maksudnya adalah dalam berdakwah beliau menganut jalan yang lurus, karena agama Islam harus diamalkan secara lurus dan benar sesuai dengan ajaran yang telah diajarkan oleh nabi.

Raden Qosim berdakwah dengan menggunakan kesenian rakyat berupa gamelan jawa. Beliau juga dikenal sebagai wali yang paling bersahaja, karena beliau memiliki sifat yang dermawan terhadap semua kalangan terutama kalangan rakyat bawah. Beliau sering menolong rakyat yang sedang mengalami kesusahan. Bahkan di pondok pesantrennya, beliau menampung banyak anak yatim piatu dan juga fakir miskin.

Selain terkenal dengan kedermawannya dan memiliki jiwa sosial, ternyata beliau juga dikenal sebagai anggota dari wali songo yang ikut mendukung dan membantu mendirikan Masjid Demak. Masjid ini merupakan simbol dari kebesaran dan kejayaan agama Islam pada masanya.
Ajaran dari Sunan Drajat (Raden Qosim) bersumber pada :

  1. Al-Qur'an
  2. Sunnah
  3. Ijma'
  4. Qiyas
  5. Ajaran dari guru dan pendidik yang tidak lain adalah ayahnya sendiri
  6. Ajaran dan pemikiran
  7. Tradisi masyarakat sekitar yang mencerminkan agama Islam
  8. Fatwa dari Sunan Drajat (Raden Qosim)

Di dalam bidang kesenian, selain mahir di bidang ukir dan suluk, beliau juga dikenal sebagai pencipta Gending Pangkur untuk yang pertama kalinya. Sampai sekarang ini Gending Pangkur ciptaan Raden Qosim masih disukai oleh rakyat jawa. Gelar Sunan Drajat didapatkannya karena beliau yang tinggal di bukit yang tinggi seakan-akan melambangkan ilmu atau derajat yang tinggi. Sunan Drajat (Raden Qosim) wafat sekitar tahun 1522 Masehi dan makamnya bertempat di sebelah Museum Sunan Drajat.

Kisah Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)

Sunan Bonang mempunyai nama asli Syekh Maulana Makhdum Ibrahim yang merupakan putra dari Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Dewi Condrowati atau biasa disebut dengan Nyai Ageng Manila. Karena Sunan Bonang merupakan anak dari wali yang menjadi pemimpin agama Islam di tanah jawa dan disegani dengan ilmu yang dimilikinya, maka sejak kecil Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim) ini telah dididik dengan ajaran Islam secara disiplin dan juga tekun.
Kisah Sunan Bonang
Sunan Bonang
Sebelum menjadi wali, tentu saja Sunan Ampel (Raden Rahmat) telah dilatih dengan keras dan dibekali dengan ilmu yang mumpuni. Berdasarkan pandangan dari Sunan Ampel, Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim) ini akan menjadi wali nantinya sehingga Sunan Ampel mempersiapkan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin.

Berdasarkan dari berbagai sumber bahwa Sunan Bonang dan juga Raden Paku saat masih remaja melanjutkan pelajaran mengenai agama Islam hingga ke tanah seberang, yaitu di daerah negeri pasai. Sunan Bonang bersama Raden Paku menimba ilmu pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam yang merupakan ayah kandung dari Sunan Giri (Syekh Maulana Ishaq). Selain itu, Sunan Bonang dan Raden Paku juga menimba ilmu pengetahuan dari ulama-ulama besar yang tinggal di negeri pasai. Kebanyakan dari ulama tersebut ahli dalam bidang tasawuf, mereka berasal dari berbagai Negara seperti Mesir, Baghdad, Iran, dan juga Arab.

Seusai menimba ilmu dari para ulama besar yang berada di negeri pasai, Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim) dan juga Raden Paku kembali lagi ke tanah jawa. Raden Paku memutuskan untuk pergi ke Gresik. Disana beliau mendirikan Pesantren di Desa Giri, sehingga beliau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Giri. Sunan Bonang lalu diperintahkan untuk menyebarkan agama Islam dengan berdakwah di daerah Rembang, Lasem, Tuban, dan juga daerah Sempadan Surabaya.

Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim) mempunyai cara yang sangat unik dan menarik dalam berdakwah, yaitu beliau menggunakan kesenian rakyat setempat untuk menarik simpati dari masyarakat. Cara yang digunakan yaitu menggunakan seperangkat alat gamelan yang disebut dengan bonang. Bonang ini yaitu alat music yang terbuat dari kuningan dengan bagian tengah yang menonjol yang biasa disebut pencon. Bonang ini memainkan melodi lagu. Cara memainkannya dipukul bagian yang menonjol dengan menggunakan dua alat pemukul khusus terbuat dari tongkat yang berlapis yang biasanya disebut dengan bindhi. Suara bonang yang merdu ini mampu membuat masyarakat sekitar merasa terhibur.

Sunan Bonang ini memiliki cita rasa seni tinggi, sehingga jika beliau yang memainkan alat musik bonang tersebut maka orang yang mendengar akan langsung terpesona dan terperanga. Buktinya setiap Sunan Bonang memainkan gamelan, banyak penduduk yang ingin menyaksikan beliau dari jarak dekat. Dengan kemahiran yang dimiliki Sunan Bonang dalam memainkan gamelan, maka tidak sedikit rakyat setempat yang ingin belajar dengan beliau bahkan berminat juga untuk memainkan melodi lagu yang telah diciptakan oleh Sunan Bonang. Itulah trik yang dilakukan oleh Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim) dalam meraih simpati dari masyarakat. Dengan antusiasme dari masyarakat tersebut maka Sunan Bonang tinggal mengajarkan agama Islam kepada masyarakat.

Kecerdikan dari Sunan Bonang ini beliau memasukkan unsur Islam di dalam setiap tembang-tembang yang diciptakan. Jadi tanpa terasa masyarakat telah mempelajari ajaran Islam dengan menyanyikan dan memainkan melodi tersebut, dengan begitu masyarakat tetap bisa belajar ajaran Islam dengan hati riang dan tidak ada paksaan sama sekali.

Sebutan Sunan Bonang didapat karena Makhdum Ibrahim menggunakan alat musik bonang sebagai media untuk berdakwah. Kepandaian beliau dalam mengajarkan agama Islam menjadikan pengikutnya semakin banyak baik yang berada di daerah Pulau Bawean, Madura, Tuban, Jepara, maupun di Surabaya.

Sunan Bonang juga menciptakan sebuah karya sastra yang disebut dengan Suluk. Karya sastra tersebut dianggap sebagai karya sastra yang luar biasa karena menciptakan suatu keindahan akan makna kehidupan beragama. Karya sastra Suluk milik Sunan Bonang ini sekarang masih tersimpan dengan rapi di sebuah Perpustakaan dari Universitas ternama yang bernama Universitas Leiden, Belanda.

Makam Sunan Bonang

Makam Sunan Bonang
Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim) sering melakukan dongeng dakwah keliling daerah hingga usianya lanjut. Beliau meninggal dunia saat melakukan dakwah di Bawean. Berita tersebut dengan cepat menyebar dan para murid Sunan Bonang berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir. Terjadi selisih paham dalam memakamkan jenazah beliau ada yang berpendapat dimakamkan di Bawean ada juga yang berpendapat dimakamkan di Surabaya berdampingan dengan Sunan Ampel ayah kandungnya. Kain kafannya pun berasal dari orang Bawen dan juga Orang Surabaya, Madura. Atas izin Allah makam Sunan Bonang ada di dua tempat berbeda yang pertama ada di Tuban dan yang kedua ada di Bawean. Namun makam yang asli berada di Tuban dan banyak didatangi oleh peziarah dari tanah air. Sunan Bonang diketahui wafat pada tahun 1525.
Pasujudan Sunan Bonang

Kisah Sunan Ampel (Raden Rahmat)

kisah sunan ampel wali songo
Sunan Ampel
Sunan Ampel mempunyai nama asli yaitu Raden Rahmat dan merupakan keturunan dari Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan Dewi Condro Wulan. Sunan Ampel ini juga dianggap sesepuh dari para wali. Beliau menikah sebanyak dua kali. Yang pertama menikah dengan Dewi Condrowati yang mempunyai gelar Nyai Ageng Manila dan dikaruniai anak bernama Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim), Siti Syari’ah, Sunan Drajat (Raden Qosim), Sunan Sedayu, Siti Mutmainah, dan terakhir Siti Hafsah. Pernikahan kedua dengan Dewi Karimah dan mempunyai putra bernama Asyiqah, Dewi Murtasiyah, Raden Husamuddin (Sunan Lamongan), Pangeran Tumapel, Raden Zainal Abidin (Sunan Demak) dan yang terakhir Raden Faqih.

Kisahnya Sunan Ampel (Raden Rahmat) menyebarkan agama Islam di daerah Surabaya. Di dalam perjalanannya menuju ke Surabaya, Sunan Ampel juga sembari berdakwah menyebarkan agama Islam dengan cara yang sangat unik yaitu dengan membuat kerajinan kipas yang dianyam dengan menggunakan rotan dan akar tumbuh-tumbuhan. Untuk mendapatkan kipas tersebut ada syarat yang diberikan oleh Sunan Ampel yaitu berupa mengucapkan kalimat syahadat. Ternyata kipas tersebut juga dapat menyembuhkan penyakit, seperti demam dan batuk, karena terdapat akar tumbuhan dan rotan. Khasiat dari kipas buatan Sunan Ampel ini semakin banyak peminatnya dan mulai dari situlah Sunan Ampel mengenalkan agama Islam sesuai dengan pemahaman yang dimiliki oleh masyarakat.

Saat Sunan Ampel dan juga rombongannya tiba di Desa Kembangkuning, mereka membuka lahan hutan untuk dijadikan langgar sebagai tempat ibadah masyarakat sekitar. Sekarang langgar tersebut telah menjelma menjadi masjid besar yang dinamakan Masjid Rahmat Kembangkuning. Di daerah ini juga Sunan Ampel bertemu dengan tokoh masyarakat bernama Ki Bang Kuning dan Ki Wiryo Sarojo. Dari pertemuan yang terjadi kedua tokoh masyarakat tersebut akhirnya memeluk agama Islam dan menjadi pengikut Sunan Ampel (Raden Rahmat). Dengan demikian penyebaran agama Islam di daerah tersebut akan semakin mudah.

Pendekatan kepada masyarakat pun semakin berjalan lancar dengan adanya kedua tokoh masyarakat tersebut, terlebih kepada masyarakat yang masih menyimpang dengan kepercayaan lamanya. Cara Sunan Ampel (Raden Rahmat) menyadarkan mereka yaitu dengan mengajarkan sedikit demi sedikit tentang ajaran ketauhidan atau ajaran keimanan kepada Tuhan. Kisah Sunan Ampel tidak langsung menentang kepercayaan mereka, karena beliau percaya jika masyarakat memahami ajaran tauhid maka mereka akan meninggalkan kepercayaan lama dengan sendirinya.
Tibalah Sunan Ampel dan rombongan di tempat tujuan yaitu Desa Ampeldenta. Pertama memasuki desa tersebut Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan rombongan mendirikan masjid untuk tempat beribadah bersama. Perilaku Sunan Ampel ini meneladani dari perilaku yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W saat berhijrah ke Madinah. Beliau mendapat sebutan Sunan Ampel karena dianggap menjadi panutan masyarakat atau orang yang berilmu di Desa Ampeldenta.

Agama Islam pun semakin berkembang dan Sunan Ampel (Raden Rahmat) mulai mendirikan pesantren. Pesantren ini sebagai tempat mendidik para pangeran dan putra bangsawan dari Kerajaan Majapahit serta siapa saja yang ingin berguru dengannya. Sunan Ampel terkenal dengan ajarannya yang terkenal yaitu disebut dengan falsafah Moh Limo yang artinya tidak melakukan lima hal yang tercela diantaranya adalah :
  1. Moh Main Artinya adalah tidak mau melakukan judi
  2. Moh Ngombe Artinya adalah tidak mau meminum minuman keras atau bermabuk-mabukan
  3. Moh Maling Artinya adalah tidak mau mencuri
  4. Moh Madat Artinya adalah tidak mau mengonsumsi obat-obatan terlarang seperti sabu, ganja, dan lain-lain.
  5. Moh Madon Artinya adalah tidak mau untuk berbuat zina ataupun memainkan perempuan yang bukan merupakan istrinya.

Dengan ajaran tersebut Prabu Brawijaya memperbolehkan Sunan Ampel untuk menyiarkan agama Islam ke berbagai wilayah Surabaya dan daerah kekuasaan Majapahit dengan syarat tidak adanya pemaksaan terhadap rakyat untuk memeluk agama Islam. Sunan Ampel pun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan untuk beragama.

Setelah Sunan Gresik wafat maka Sunan Ampel yang menjadi sesepuh wali songo selanjutnya sekaligus menjadi pemimpin agam Islam se-tanah jawa. Semua wali songo patuh dan tunduk kepada fatwa dari Sunan Ampel dan tidak hanya itu saja, semua orang Islam di jawa juga patuh kepada perintah Sunan Ampel (Raden Rahmat). Dongeng di tahun 1477 Sunan Ampel membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Diantara empat tiang yang berdiri Sunan Ampel ikut ambil bagian dalam pembuatannya, salah satu tiang yang dibuat beliau sampai saat ini masih diberi nama Sunan Ampel.

Makam Sunan Ampel

Sunan Ampel juga yang menciptakan "Huruf Pegon" yaitu tulisan Arab yang berbunyi Bahasa Jawa. Dengan adanya huruf ini maka mengajarkan agama Islam di tanah jawa menjadi lebih mudah. Sampai sekarang ini huruf tersebut dipakai dalam bahan ajaran Islam yang ada di pesantren.
Sunan Ampel (Raden Rahmat) menginginkan agar agama Islam di ajarkan secara murni dan konsekuen, sehingga aqidah ummat terselamatkan dan tidak tergelincir ke dalam kemusyrikan. Beliau wafat tahun 1478 Masehi dan makamnya di sebelah barat Masjid Ampel.
Makam Sunan Ampel dan Istrinya
Makam Sunan Ampel dan Istrinya

Masjid Agung dan Makam Sunan Ampel
Masjid Agung dan Makam Sunan Ampel


Kisah Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Kisah sunan gresik
Sunan Gresik
Sunan Gresik mempunyai nama asli yaitu Maulana Malik Ibrahim yang merupakan wali songo tertua diantara wali-wali yang lain. Maulana Malik Ibrahim menyebarkan ajaran Islam di daerah pantai utara jawa. Namun, sebelum datangnya Sunan Gresik ke pulau jawa ternyata dari zaman dahulu telah ada masyarakat Islam yang tinggal disana. Ini dibuktikan dengan adanya makam Fatimah Binti Maimun. Fatimah meninggal tahun 475 Hijriyah atau 1082 Masehi. Dengan adanya makam tersebut terbukti bahwa sejak zaman dahulu agama Islam telah berkembang di daerah Leren dan Jepara namun belum secara meluas ke daerah-daerah lain dan pemeluknya masih sedikit.

Sunan Gresik mempunyai sebutan lain yaitu kakek bantal. Tidak diketahui secara jelas mengapa sebutan tersebut melekat pada dirinya. Ia datang ke Nusantara pada tahun 1404 Masehi dan menyebarkan agama Islam di daerah Gresik, makanya mendapat julukan Sunan Gresik. Saat itu kawasan Jawa Timur ini didominasi agama Hindu Buddha bahkan banyak juga yang tidak mempunyai agama. Sunan Gresik berasal dari Turki dan pernah mengembara di Gujarat cukup lama. Dengan pengalamannya di Gujarat tersebut menjadikan Sunan Gresik lebih mahir dalam menghadapi masyarakat Nusantara tersebut terlebih yang beragama Hindu maupun yang tidak mempunyai agama sekalipun. Pasalnya, di Gujarat kasusnya semacam Nusantara ini yang mayoritas penduduknya beragama Hindu.

Cara yang dilakukan oleh Sunan Gresik dalam mengajarkan agama Islam yaitu dengan cara mendekati mereka dengan baik-baik dan tidak menentang secara langsung bahwa kepercayaan mereka itu salah selain itu Sunan Gresik juga menunjukkan keindahan dan kemuliaan akhlak Islam seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad S.A.W.

Berdasarkan sumber yang terpercaya Sunan Gresik mampu mengobati berbagai macam penyakit dengan menggunakan daun-daun tertentu dan masyarakat sekitar telah membuktikan telah membuktikan khasiatnya. Selain itu, Sunan Gresik juga ahli dalam bidang pertanian, dibuktikan dengan panen masyarakat Gersik meningkat tajam sejak kehadiran Sunan Gresik.

Karena sifatnya yang sangat baik terhadap masyarakat baik Islam maupun non Islam membuat para pengikutnya semakin banyak dan semakin disegani masyarakat dari berbagai kalangan baik dari fakir miskin sampai pangeran. Untuk mengajarkan agama Islam di kalangan orang awam, cara yang dilakukan Sunan Gresik ini dengan mengajarkannya cara bercocok tanam yang benar, sehingga panennya melimpah, setelah itu beliau mengajak masyarakat untuk bersyukur kepada Allah S.W.T atas limpahan rezeki yang diberikan.

Di dalam agama Hindu masyarakatnya terbagi atas beberapa kasta, kasta terendah adalah Waisya dan Sudra. Masyarakat golongan tersebut seringkali merasa tertindas karena selalu diremehkan oleh kasta yang berada di atasnya. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Sunan Gresik yaitu dengan cara menerangkan bahwa di dalam agama Islam semua manusia mendapatkan kedudukan yang sama dan yang paling mulia adalah manusia dengan ketaqwaan yang tinggi terhadap Allah S.W.T. Dengan cara tersebut maka golongan Waisya dan Sudra berbondong-bondong memeluk agama Islam.

Setelah banyak yang memeluk agama Islam, Sunan Gresik mulai mendirikan masjid yang digunakan sebagai tempat ibadah bersama-sama. Masjid ini sekarang dikenal dengan nama Masjid Jami’ Gresik. Pembangunan masjid tersebut tidak lepas dari bantuan Raja Ciremai. Selain masjid, beliau juga membangun pondok pesantren di leran, Gresik. Tujuannya agar dapat mempersiapkan kader-kader penerus perjuangan menyebarkan agama Islam di tanah jawa khususnya dan di seluruh Nusantara umumnya.

Pondok pesantren yang dibangun juga mirip dengan mandala-mandala yang dimiliki oleh kaum Hindu Buddha agar tetap menghargai antar perbedaan agama dan menambah umat. Cara ini pun berhasil menciptakan mubaligh yang menyebar ke berbagai penjuru Nusantara. Keberadaan dari pondok pesantren pun masih ada hingga saat ini dimana para mubaligh digembleng dengan ajaran-ajaran Islam oleh para ulama.

Jika ada yang bertanya masalah agama Islam kepada Sunan Maulana Malik Ibrahim, maka beliau menjawabnya secara sederhana dan tidak berbelit-belit. Di dalam buku History of Java ciptaan Sir Stamford Raffles ada pertanyaan yaitu “ Apakah yang dinamakan Allah itu?” jawaban darinya sangat sederhana yaitu “Allah adalah Zat yang diperlukan adanya.”

Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) menyebarkan agama Islam di tanah jawa selama dua tahun. Selama itu juga ia mengajarkan kepada masyarakat mengenai meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Dengan kemakmuran yang dicapai oleh masyarakat, maka ibadah yang dilaksanakan pun akan menjadi tenang.

Makam Sunan Gresik

Perjuangan dari Sunan Gresik tersebut patut diteladani (informasi disediakan oleh dongengterbaru.blogspot.com), karena menyebarkan agama Islam dengan cara baik-baik dan tidak berbelit-belit dalam menjelaskan makna dari agama Islam. Beliau wafat di Gresik tahun 882 Hijriyah atau 1419 Masehi. Makamnya terletak di Desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Makam Seikh Maulana Malik Ibrahim
Makam Seikh Maulana Malik Ibrahim

Makam Sunan Gresik
Makam Sunan Gresik